BIASANYA, sayur buntil dibuat dari bahan daun tanaman lumbu (sejenis ubi) ladang, serta bentuk masakannya basah karena direbus dan diberi santan. Namun, buntil hasil masakan Ny Sukarsih (59) dan suaminya, Haji Hambali (75) ini berbeda dengan yang biasa dijumpai, karena bentuknya kering, tanpa santan, serta bahan bakunya adalah daun lumbu kali atau daun tanaman lumbu yang tumbuh di sekitar sungai.
Buntil tersebut kering, lantaran setelah selesai digodog dan ditiriskan airnya, lalu digoreng. Sementara kendati tanpa santan, rasa masakan itu tetap saja gurih, karena berbagai bumbu yang menyusup di daun lumbu olahan tersebut, seperti garam, gula, beberapa jenis rempah-rempah dan parutan kelapa, dengan sendirinya telah membuatnya gurih.
"Dengan digoreng memakai minyak kelapa membuatnya lebih gurih lagi, selain itu juga lebih tahan lama. Kalau buntil basah dengan santan sehari saja sudah basi, kalau digoreng bisa tahan dua hari," ujar Ny Sukarsih, di rumahnya, Desa Tegal Joho, Kecamatan Bulu, Temanggung.
Menurutnya, kadang ada sayur buntil yang terasa gatal di lidah atau tenggorakan. Namun, hal itu dijamin tidak terjadi pada buntil goreng buatannya. Sebab, proses panjang pembuatannya telah dilalui sebelum masakan itu dihidangkan.
Yakni, setelah daun lumbu dipetik dan dicuci bersih, lalu dijemur dalam waktu dua hari, selanjutnya digodok pada tungku selama empat jam, dan akhirnya masuk dalam wajan penggorengan pada pagi harinya. "Menggodok dan menggorengnya pun tidak menggunakan kompor gas, namun dengan tungku kayu, sehingga prosesnya betul-betul tanak," jelasnya.
Selain terasa gurih, rasa manis dengan sedikit asin dan pedas menjadi ciri khas sayur goreng yang sangat empuk tersebut. Dengan cita rasa itu, tak mengherankan, jika masakan ini kemudian mampu membangkitkan selera makan, dan memanjakan lidah para penikmatnya.
"Pokoknya, bolehlah, kalau mau mencoba membandingkan cita rasa buntil goreng dengan buntil basah yang ada selama ini," tutur wanita asli dari Ciamis, Jabar itu.
Harga Biasa
Kendati tak biasa, namun harga buntil goreng tersebut tetap biasa, yakni Rp 1.000 setiap gelindingnya. Selama ini, dia memproduksi makanan itu hanya dua kali dalam seminggu, yakni setiap hari pasaran Wage dan Legi.
Dua hari itu bertepatan dengan hari pasaran di Pasar Wage Ngadirejo dan Pasar Legi Parakan, dua lokasi tempat Sukarsih memasarkan hasil olahan sekaligus barang dagangannya tersebut.
"Rata-rata, saya membawa 150 gelinding buntil setiap berjualan ke pasar. Karena sudah memiliki langganan, sekitar jam 11.00 saja sudah habis. Di luar itu, sering pula ada yang pesan langsung ke rumah, baik untuk keperluan acara-acara tertentu, maupun sebagai oleh-oleh bagi kerabat atau sahabat-sahabatnya," ungkapnya.
Anggota Komisi D DPRD Temanggung, Arif Mas'ud mengatakan, inisiatif dari warga yang mendayagunakan tanam-tanaman yang banyak ditemukan di lingkungan sekitarnya untuk diolah, sehingga memiliki nilai tambah ekonomi perlu diapresiasi. Seperti halnya Ny Sukarsih yang memanfaatkan tanaman lumbu kali, di mana banyak sekali ditemukan di pinggiran sungai-sungai itu.
"Pemerintah bisa memfasilitasi kegiatan-kegiatan seperti itu, sehingga kuantitas dan kualitas produknya meningkat, serta makin banyak tenaga kerja yang dilibatkan," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar