Jika Tidak Ingin Menjadi Konflik Horisontal
SALAM - Persoalan penambangan Bahan Galian Golongan C (BGGC) di Kabupaten Magelang bisa menjadi konflik yang berkepanjangan bila tidak segera diatur secara tegas. Satu sisi, kalangan LM menilai telah terjadi penambangan liar di alur Sungai Pabelan dan Putih pasca erupsi enam bulan lalu.
Tetapi sisi lain, ratusan warga di dua aliran sungai tersebut, terutama yang tinggal di Dusun Salakan, Desa Sirahan dan Dusun Nglumpukan, Desa Seloboro, Kecamatan Salam menolak disebut sebagai penambang liar. Selama musim kemarau Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) tidak lagi mengoperasikan alat berat di Kali Putih.
‘’Padahal material yang menumpuk di sungai masih luar biasa besar. Sungai mengalami pendangkalan dan bahkan dasar sungai sudah lebih tinggi dari kampung kami. Ini bisa mengancam dusun kami saat musim hujan tiba, bila tidak segera dikeruk,” kata Kadus Salakan, Budi Sunaryo, 35, saat sarasehan antara warga yang tinggal di sekitar bantaran Kali Putih dan Kali Pabelan, di Dusun Salakan, kemarin sore.
Warga mengaku hanya membersihkan material yang ada di lingkungan mereka. Tetapi karena banyaknya material yang menumpuk dan mereka harus berpacu dengan waktu sebelum musim hujan kembali tiba, akhirnya, warga Salakan sepakat untuk menyewa alat berat back hoe.
Alat berat tersebut digunakan untuk mengeruk material yang ada di jalan, rumah warga dan dasar sungai. “Kami menolak disebut sebagai penambang liar. Kami tidak meminta ada musibah seperti ini. Rumah kami hancur, kami hanya membersihkan material yang ada. Kami bukan penambang,” tutur Widarto, warga Salakan.
Tokoh masyarakat Desa Seloboro Sarwiji menceritakan bahwa yang dilakukan warga tidak sepenuhnya penambangan. Menurut warga merasa terancam dengan keberadaan material yang menumpuk di sungai.
Dengan adanya pendangkalan, warga menilai material tersebut akan mengancam perkampungan warga pada musim hujan mendatang jika tidak segera dikeruk. "Dulu sungai dalamnya 10-15 meter sekarang sudah ada di atas kampung kami," ujarnya.
Sebelumnya, LSM Gemasika berkirim surat ke Bupati Magelang. selain meminta memberikan sanksi bahkan mutasi kepada Kepala Satpol PP. Mereka juga mengemukakan bahwa sesuai Perbup 1/2011 Tentang Pengusahaan Bahan Galian Akibat Letusan Gunung Merapi Tahun 2010, penambangan bahan galian tidak diperbolehkan menggunakan alat berat (pasal 7 ayat 2).
Namun dalam kenyataannya hampir enam bulan terakhir penambangan di alur Sungai Putih dan Sungai Pabelan (Kecamatan Mungkid dan Salam) menggunakan alat berat. Termasuk beberapa wilayah di Kecamatan Sawangan, Dukun dan Srumbung.
Salah satu tokoh Desa Seloboro, Sarwiji, justru mempertanyakan LSM Gemasika yang menuduh warga melakukan penambangan liar. "Mereka tidak pernah kemari sehingga tidak tahu kondisi warga. Lahar dingin membuat warga kami menderita," kata dia. (dem)
Magelang Hari ini : 18 September 2011
-Kembali ke Kesatuan Asal
-Rp 3 Juta untuk Kelurahan
-Segera Atur Penambangan Pasir
SALAM - Persoalan penambangan Bahan Galian Golongan C (BGGC) di Kabupaten Magelang bisa menjadi konflik yang berkepanjangan bila tidak segera diatur secara tegas. Satu sisi, kalangan LM menilai telah terjadi penambangan liar di alur Sungai Pabelan dan Putih pasca erupsi enam bulan lalu.
Tetapi sisi lain, ratusan warga di dua aliran sungai tersebut, terutama yang tinggal di Dusun Salakan, Desa Sirahan dan Dusun Nglumpukan, Desa Seloboro, Kecamatan Salam menolak disebut sebagai penambang liar. Selama musim kemarau Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) tidak lagi mengoperasikan alat berat di Kali Putih.
‘’Padahal material yang menumpuk di sungai masih luar biasa besar. Sungai mengalami pendangkalan dan bahkan dasar sungai sudah lebih tinggi dari kampung kami. Ini bisa mengancam dusun kami saat musim hujan tiba, bila tidak segera dikeruk,” kata Kadus Salakan, Budi Sunaryo, 35, saat sarasehan antara warga yang tinggal di sekitar bantaran Kali Putih dan Kali Pabelan, di Dusun Salakan, kemarin sore.
Warga mengaku hanya membersihkan material yang ada di lingkungan mereka. Tetapi karena banyaknya material yang menumpuk dan mereka harus berpacu dengan waktu sebelum musim hujan kembali tiba, akhirnya, warga Salakan sepakat untuk menyewa alat berat back hoe.
Alat berat tersebut digunakan untuk mengeruk material yang ada di jalan, rumah warga dan dasar sungai. “Kami menolak disebut sebagai penambang liar. Kami tidak meminta ada musibah seperti ini. Rumah kami hancur, kami hanya membersihkan material yang ada. Kami bukan penambang,” tutur Widarto, warga Salakan.
Tokoh masyarakat Desa Seloboro Sarwiji menceritakan bahwa yang dilakukan warga tidak sepenuhnya penambangan. Menurut warga merasa terancam dengan keberadaan material yang menumpuk di sungai.
Dengan adanya pendangkalan, warga menilai material tersebut akan mengancam perkampungan warga pada musim hujan mendatang jika tidak segera dikeruk. "Dulu sungai dalamnya 10-15 meter sekarang sudah ada di atas kampung kami," ujarnya.
Sebelumnya, LSM Gemasika berkirim surat ke Bupati Magelang. selain meminta memberikan sanksi bahkan mutasi kepada Kepala Satpol PP. Mereka juga mengemukakan bahwa sesuai Perbup 1/2011 Tentang Pengusahaan Bahan Galian Akibat Letusan Gunung Merapi Tahun 2010, penambangan bahan galian tidak diperbolehkan menggunakan alat berat (pasal 7 ayat 2).
Namun dalam kenyataannya hampir enam bulan terakhir penambangan di alur Sungai Putih dan Sungai Pabelan (Kecamatan Mungkid dan Salam) menggunakan alat berat. Termasuk beberapa wilayah di Kecamatan Sawangan, Dukun dan Srumbung.
Salah satu tokoh Desa Seloboro, Sarwiji, justru mempertanyakan LSM Gemasika yang menuduh warga melakukan penambangan liar. "Mereka tidak pernah kemari sehingga tidak tahu kondisi warga. Lahar dingin membuat warga kami menderita," kata dia. (dem)
Magelang Hari ini : 18 September 2011
-Kembali ke Kesatuan Asal
-Rp 3 Juta untuk Kelurahan
-Segera Atur Penambangan Pasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar