Kompas/Ichwan Susanto
Warga Pulau Padang yang menginap di depan Gedung DPR/MPR, Rabu (18/1/2012).
|
JAKARTA — Berbekal modal seadanya, sekitar 80 orang kaum tani Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Riau, berangkat dari kampungnya ke Jakarta untuk menuntut keadilan.
Di kampungnya, para warga ini merasa resah akan aktivitas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang dinilai mengambil lahan warga dan merusak lingkungan sehingga membuat Pulau Padang berpotensi tenggelam.
Mereka kemudian berorasi di depan Gedung DPR/MPR hingga akhirnya mendirikan tenda-tenda sederhana dari terpal dan bambu pada tanggal 12 Desember 2011. Bumi perkemahan DPR, demikian media massa menyebutnya.
Selama 38 hari, tidak ada satu pun tuntutan warga agar RAPP menghentikan aktivitasnya didengar para wakil rakyat.
Padahal, mereka sudah melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian anggota DPR mulai dari aksi jahit mulut sampai rantai diri. Hal itu kemudian membuat satu per satu warga meninggalkan perkemahannya selama ini.
Kini, hanya tersisa sekitar 30 orang warga. Satu orang warga Pulau Padang bahkan dikabarkan gila akibat keluh kesahnya tak didengar setelah memasuki hari ke-33.
Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) yang mendampingi para warga, Yoris Sindhu Sunarjan, mengatakan, salah seorang warga yang menjadi tidak waras bernama Sulatra (37).
Dia diduga depresi setelah gagal bertemu dengan Bupati Meranti dan Menteri Kehutanan pada tanggal 6 Januari lalu.
"Pertemuan itu padahal kami harapkan menjadi puncak perjuangan kami selama ini. Kesepakatan antara bupati, warga, dan Menhut, tapi ternyata gagal dilaksanakan karena tidak jelas alasannya. Ini yang membuat Sulatra kecewa," ungkap Yoris, Rabu (18/1/2012), saat dijumpai di depan gedung DPR/MPR, Jakarta.
Setelah gagal bertemu bupati dan Menhut, lanjut Yoris, Sulatra menjadi sulit diajak berkomunikasi. Selama bermalam di tenda, Sulatra sering meracau sendiri. Ia marah-marah sendiri akan hal yang tidak jelas.
"Dia menganggap semua orang musuh dan merasa tidak ada yang peduli sama dia. Sulatra juga selalu mengajak konfrontasi orang-orang di sekelilingnya," papar Yoris.
Akhirnya, oleh sesama peserta unjuk rasa, Sulatra dibawa ke rumah sakit. Dia juga sempat menjalani pemeriksaan kejiwaan oleh psikiater.
"Sampai akhirnya pada tanggal 13 Januari kemarin dia harus dirawat di rumah sakit jiwa karena gila. Kami menyayangkan adanya rekan kami yang jadi begini," papar Yoris.
Menurut Yoris, Sulatra bisa sedemikian kecewanya lantaran pernah mengalami pengalaman yang sama saat pria itu tinggal di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tanah keluarganya di sana juga dirampas oleh perusahaan.
Saat masyarakat melawan, ayah Sulatra kebetulan adalah pemimpinnya. "Ayah Sulatra sebagai pemimpin, dia yang terdepan, dan sayangnya tertembak oleh aparat keamanan," tutur Yoris.
Sejak itu, Sulatra melakukan transmigrasi ke Pulau Padang dan menikah dengan penduduk lokal. Tetapi, bukan hidup tenang yang didapatnya, justru pengalaman serupa kembali menghadang.
"Akhirnya semua memorinya terbolak-balik. Kami berharap tidak ada lagi kejadian seperti ini dan anggota DPR segera mengabulkan tuntutan kami," tukas Yoris.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Cara Mudah, Cepat Dan Tanpa Resiko Membuat Uang Secara Online, Ikutan Gabung yuk ! Klik Disini !
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar