Menurut Kepala Departemen Advokasi Walhi Mukri Friatna, pembunuhan warga yang dipicu sengketa tanah dengan penguasaha perkebunan kelapa sawit sejatinya tidak hanya terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung dan OKI, Sumsel, melainkan di beberapa daerah lain dalam kurun waktu berbeda. Kendati, kata dia, motifnya nyaris sama.
Mukri menjelaskan, kasus Lahan di Register 45 Way Buaya, di dusun Pelita Jaya Desa Talang Batu Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung mencuat sejak awal 2002 sampai 6 NOvember 2010.
Konflik berawal dari Register 45 yang merupakan lahan adat desa Talang Batu seluas 7 ribu hektar yang diklaim ke Hutana Tanaman Industri Register 45 yang dikuasai oleh PT Inhutani V dan PT Silva Lampung Abadi. Semula berdasarkan SK Menhut No. 688/Kpts-II/1991 luas Reg. 45 adalah 32.600 hektare. Kemudian 17 Februari 1997 Menhut mengeluarkan SK No.93/Kpts-II/1997 tentang menambah uas Hak Pengelolaan kawasan HTI menjadi 43.100 Hektare. Menjawab usul masyarakat adat mengenai klaim tanah selas 7000 hektare. Kemudian diterbitkan kembali surat No. 1135/MENHUTBUN-VIII/2000. Intinya hanya menyetujui lahan seluas 2.600 Hektare.
Konflik lain di Mesuji terjadi pada 1994, saat PT BSMI mendapatkan Ijin Lokasi dan 1997 dan mendapatkan HGU dengan kuas area 17 ribu hektare. Pembagiannya 10 ribu hektare diberikan kepada perusahaan untuk dikeloa pengusaha dan 7 ribu hektare meruakan tanah Plasma diberikan kepada warga untuk mengelola dan mendapatkan keuntungan hasil tanaman.
Mau uang gratis ? Klik Disini !
Menurut Mukri, kekerasan terhadap petani memang sudah lama terjadi di wiayah Mesuji, baik Lampung maupun Sumatera Selatan. Dia pun mendesak pemerintah cepat menyelesaikan kasus ini dan menarik polisi yang ngepos di sana, karena mereka merupakan centeng perusahaan yang selalu menganiaaya warga.
Sementara kasus PT SWA versus Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, OKI, Mukri mengatakan, terjadi pada 1997. Saat itu terbangan kerjasama antara PT. SWA/PT Trekreasi Margamuya untuk membangun kemitraan pembangunan kebun sawit di atas lahan seluas 1.068 Hektare di luar milik H Saefei seluas 533 Hektare.
Dalam perjanjian dijelaskan masyarakat akan mendapat keuntungan yang tertera secara nominal dari tahun pertama hingga kesepuluh. “Tapi nyatanya itu tidak dibayarkan kepada warga pemilik lahan,” ujarnya.
(ded)
Baca Juga :
-Komisi III DPR Temui Kapolda Lampung
-Menhut, Konflik Mesuji Tak Ada Urusan dengan Pusat
-Polri, Pelaku Pemenggalan Mesuji dari Warga
-Pemerintah Ingin Penanganan Mesuji Menyeluruh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar