---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Peluncuran buku “Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek” yang digelar di Kedai Nusantara, Depok, Sleman beberapa hari lalu hanyalah salah satu dari kegerakan besar untuk membela eksistensi (rokok) kretek di negeri ini. Namun, seperti diungkapkan oleh Guru Besar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Prof Dr Susetiawan dalam acara launching buku itu, masalah kretek ini memerlukan pemikiran yang kritis (KR, 26-2-2012).
Ketika rekan-rekan pengacara di kantor saya maju ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan Judicial Review (JR) atas beberapa peraturan soal rokok, saya sempat dilematis. Beberapa sahabat dari gerakan kesehatan anti rokok mempertanyakan, mengapa saya menjadi pro-rokok? Namun saya jawab balik bahwa ini bukan soal pro atau anti rokok, kami hanya menangani aspek hukumnya saja.
Tetapi, setelah mengkritisi perihal kretek melalui riset antropologis, saya menjadi paham duduk persoalan sebenarnya dari masalah rokok dan tembakau di negeri ini. Bahwa terlepas dari keterkaitannya dengan masalah kesehatan, adalah masuk akal jika dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh puluhan ribu petani tembakau asal Kabupaten Kendal, Temanggung, Kudus, Demak dan Boyolali menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal tembakau itu mengusung poster-poster bertuliskan “Kretek Simbol Kedaulatan Bangsa” (KR, 23-12-2011).
Mengapa? Karena masalah rokok dan tembakau itu sejatinya adalah masalah perang dagang internasional. Wanda Hamilton dalam buku “Nicotine War” (2010) menjelaskan dengan gamblang bagaimana serunya perang dagang itu. Intinya adalah perang untuk memperebutkan para perokok atau pasar rokok yang jumlahnya sangat besar di seluruh dunia. Penciptaan regulasi anti tembakau hanyalah permainan para raksasa industri rokok besar dan raksasa industri farmasi (obat). Industri rokok raksasa global mendapat banyak keuntungan dari berbagai aturan atau standardisasi produk-produk rokok.
Menurut Ketua Nasional Perhimpunan Rakyat Pekerja, Anwar MaĆruf, bisa jadi Indonesia tidak lagi memiliki pabrik-pabrik rokok oleh karena serangan investor-investor industri rokok asing yang ingin mencaplok industri rokok (kretek) di dalam negeri. Memang, sekarang saja Philip Morris telah sukses memborong 98 persen saham sebuah perusahaan rokok di Indonesia. British American Tobacco (BAT) sudah berhasil menguasai 85 persen saham perusahaan rokok dalam negeri lainnya.
Padahal, industrti kretek adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Dalam buku “Kretek: Kajian Ekonomi dan Budaya Empat Kota” (2011) dijelaskan analisis bahwa industri kretek berkontribusi besar bagi ekonomi di negeri ini sebagai: (1) penyumbang cukai terbesar, (2) pengguna bahan baku lokal, (3) penampung ajeg tenaga kerja, (4) penyangga pasar dalam negeri, (5) pemicu produksi petani.
Industri kretek di Indonesia merupakan fenomena tersendiri, mulai tumbuh pada awal abad ke-20 ketika M. Nitisemito merintis produksi kretek dengan merek “Bal Tiga”. Dalam buku “Seribu Tahun Nusantara” (2000) dicatat kejayaan industri itu, sampai bisa menyewa dua akuntan dari pemerintah kolonial Belanda, menggaji 10.000 pekerja, dan menghasilkan 10 juta batang kretek perhari. Sampai-sampai Bung Karno menyebut-nyebutnya sebagai salah satu kekuatan ekonomi Indonesia dalam pidato “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945 (www.komunitaskretek. or.id).
Bukan hanya itu, kretek adalah budaya asli Indonesia. Mark Hanusz dalam buku “Kretek: The Culture and Herritage of IndonesiaĆs Clove Cigarettes” (2000) mengatakan bahwa kretek itu bukan rokok dan bukan cerutu. Sebab, disamping berbahan baku tembakau, kretek mengandung cengkih, tanaman asli Indonesia. Kretek yang saat dihisap menimbulkan bunyi khas “kretek...kretek...kretek” adalah rokok temuan khas dan asli Indonesia.
Masalah kretek adalah masalah penjajahan oleh kapitalisme global. Pada 1950, di dalam sebuah perjamuan diplomatik di London, Haji Agus Salim disindir karena mengisap kretek. Sindiran itu sontak membangkitkan rasa kebangsaannya. Ia lantas menjawab, “Justru karena rempah-rempah inilah bangsa-bangsa Barat menjajah kami!” Kini, konspirasi global sedang menjajah kita lagi! q - g. (207-2012).
*) Haryadi Baskoro SSos MA MHum, Peneliti Kebudayaan, Kepala Kantor
“3H Advocates & Consultants”.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca Juga:
Yang dibutuhkan sekarang adalah keberpihakan pemerintah bagi kelestarian kretek baik sebagai warisan budaya maupun sebagai komoditas kebanggaan masyarakat, tidak larut dalam paradigma kesehatan yang dibangun kampanye global anti-tembakau, yang menempatkan tembakau sebagai musuh kesehatan, kretek terus dikerdilkan oleh kelompok yang ditumpangi kepentingan perdagangan asing ini, segala bentuk UU maupun peraturan pemerintah yang mengerdilkan, mengkriminalkan dan mengeliminasi kretek hendaknya direview dan direvisi, kecuali pemerintah sendiri memang tidak memiliki keberpihakan dan visi yang tegas dalam membela produk dalam negeri, dan lebih berpihak pada kepentingan asing.
BalasHapus