TEMPO.CO, Bandar Lampung - Sejumlah tokoh masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Lampung (Fokmal) menuntut Mayor Jenderal Purnawirawan Saurip Kadi meminta maaf kepada warga Lampung. Saurip dinilai telah menyebarkan berita bohong terkait isu pembantaian 30 petani di Mesuji, Lampung.
“Permintaan maaf itu harus disiarkan melalui media massa, dan jika tidak dilaksanakan, kami akan menggugat di pengadilan,” kata Ketua Forum Masyarakat Lampung Sutan Syahrir Oelangan, Senin malam, 26 Desember 2011.
Dalam pertemuan yang dihadiri sekitar seratus tokoh yang mewakili perhimpunan, paguyuban, dan persatuan suku dan etnis yang ada di Lampung itu menyepakati 15 kesepakatan. Kesepakatan itu lebih banyak menyoroti sepak terjang Saurip Kadi di sengketa lahan di Mesuji, Lampung. “Secara agama, kami sudah memaafkan, tapi secara hukum belum. Langkah Saurip dan kelompoknya telah meresahkan warga Lampung,” katanya.
Para tokoh adat yang datang di antaranya berasal dari Lampung, Batak, Minang, Panginyongan, Bali, Madura, Bugis, Ambon, dan Manado. Menurut mereka, laporan Saurip dan sebagian warga yang mengatasnamakan warga Mesuji dengan membawa video yang masih diragukan kebenarannya berdampak pada iklim investasi dan wisata di Lampung. “Investor saat ini resah. Sejumlah investor perkebunan yang hendak masuk ke Lampung jadi batal karena daerah kami dianggap tidak ramah,” ujarnya.
Selain menuntut Saurip minta maaf, Fokmal juga meminta Majelis Penyimbang Adat Lampung dilibatkan dalam Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk oleh Presiden. Majelis Penyimbang Adat Lampung yang dibentuk berdasarkan peraturan daerah dinilai lebih memahami sengketa lahan yang ada di Mesuji. “Itu sengketa tanah ulayat. Tanah ulayat itu haknya orang pribumi. Sementara yang menempati lahan yang disengketakan itu adalah bukan penduduk pribumi, tetapi mereka yang sengaja datang untuk merambah,” ujarnya.
Sementara itu, sejak sekelompok orang yang mengaku dari Mesuji melapor ke Komisi III DPR di Jakarta pada 14 Desember 2011 lalu, ribuan warga mulai berdatangan dari berbagai daerah untuk menduduki lahan Register 45. Mereka datang secara bergelombang dengan menggunakan kendaraan pribadi roda empat dan roda dua. Dari nomor kendaraan yang mereka tumpangi, mereka berasal dari Kota Metro, Lampung Timur, dan Lampung Tengah.
Para pendatang itu mempunyai ciri serupa, yaitu membawa tenda berwarna biru, perabotan, dan bekal seadanya. Mereka kemudian mendirikan tenda-tenda darurat di Talang Air Mati, Talang Gunung, Talang Batu, dan Blok 7 dan 8, yang masuk kawasan PT Silva Inhutani. Mereka juga memasang generator dan parabola untuk menyaksikan siaran televisi yang gencar mewartakan konflik Mesuji.
“Mereka seperti ada yang mengorganisasi untuk datang dan mengkapling-kapling tanah di kawasan itu. Kelompok massa yang datang didominasi suku Bali dan Jawa,” kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mesuji Umar.
Umar mengatakan pihaknya juga sudah mendapat data adanya jual-beli tanah di kawasan itu oleh sekelompok orang tertentu. Dia memprediksi jumlah warga yang datang akan semakin bertambah karena ada indikasi mobilisasi dari daerah lain. “Jika terus begini akan menimbulkan persoalan baru di Mesuji. Harus ada langkah tepat dan cepat,” kata Pejabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung.
Mau uang gratis ? Klik Disini !
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar