MESKI sebagian besar wilayahnya merupakan perkebunan dan banyak dikelola perusahaan swasta, tidak berarti Kabupaten Mesuji, Lampung, menjadi daerah maju. Kabupaten yang bisa dibilang masih balita itu memang belum bisa menikmati hasil kebun. Sarana dan prasarana juga masih pas-pasan.
Misalnya, infrastruktur jalan di kabupaten berpenduduk sekitar 190 ribu jiwa itu. Jalan mulus hanya bisa dirasakan di jalur lintas timur Sumatera. Jalur tersebut memang berstatus jalan nasional sehingga pemeliharaannya pun tidak dilakukan pemkab. Melalui jalan lintas timur Sumatera itulah, orang bisa menuju Mesuji dan Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung.
Jangan harap menemukan jalan mulus lainnya di Mesuji selain jalan lintas timur Sumatera. Kalaupun ada jalan aspal, wujudnya bopeng di sana-sini. Kondisi seperti itu bahkan masih ditemui di akses menuju pusat pemerintahan, Kampung Brabasan, Kecamatan Tanjung Raya.
Dari lintas timur Sumatera menuju Brabasan, kondisi sepanjang jalan bisa dikatakan hancur. Jalan selebar 10 meter itu memisahkan lahan register 45 dengan permukiman penduduk yang mayoritas dihuni transmigran dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Aspal ambles, debu, dan kubangan air menjadi pemandangan yang menemani pengguna jalan hingga pusat pemerintahan Mesuji.
Syarif, salah seorang pejabat di Pemkab Mesuji, mengatakan bahwa banyak jalan di Mesuji yang rusak karena dilewati truk-truk pengangkut sawit. Baik dari perkebunan rakyat maupun perkebunan besar swasta. "Mereka sering overload mengangkut sawit," ujarnya.
Sepanjang perjalanan Jawa Pos dari Simpang Pematang (kawasan paling dekat dengan jalan lintas timur Sumatera) hingga Brabasan, setidaknya lebih dari sepuluh truk melintas. Mayoritas truk itu memang mengangkut sawit hingga melebihi batas bak.
Pria yang pernah menjabat sekretaris dinas kehutanan dan perkebunan tersebut mengatakan, truk milik beberapa perusahaan perkebunan itu memakai fasilitas jalan negara tanpa mau memakai jalan sendiri untuk masuk ke area perkebunan dan mengangkutnya ke pabrik pengolahan. "Pemkab pun serbasalah. Kalau diaspal, pasti tidak tahan lama karena beban kendaraan berat yang lewat sangat berlebihan," ujarnya.
Lantaran masih berusia "balita", Kabupaten Mesuji belum punya regulasi seperti peraturan daerah (perda) yang mengatur soal lalu lintas kendaraan berat. Termasuk, penerapan retribusi pada truk-truk yang melintasi jalan negara. Ironisnya, selama ini Mesuji juga tidak bisa memungut pajak perkebunan dan lahan karena belum ada perda. "Tidak ada PAD (pendapatan asli daerah) yang masuk ke kas daerah dari perusahaan," ujarnya.
Sepengetahuan Syarif, selama ini perusahaan perkebunan yang ada hanya dikenai pajak bumi dan bangunan (PBB) yang langsung masuk kas pemerintah pusat. Dana dari PBB itulah yang nanti mengucur ke daerah melalui dana alokasi umum (DAU).
Menurut Syarif, DAU yang mengucur ke kas pemkab tersebut tidak besar. Hanya sekitar Rp 1 miliar per tahun. Tidak adanya kontribusi dari perusahaan perkebunan swasta juga pernah diungkapkan Ketua DPRD Mesuji Haryati Chandralela saat menyambut Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Hadirnya konflik agraria dan minimnya sarana-prasarana di Mesuji, sepertinya, memang tak bisa berakhir dalam waktu dekat. Sebab, pemerintahan kabupaten itu juga masih pincang. Kabupaten tersebut belum memiliki bupati dan wakil bupati definitif. Pemilihan kepala daerah memang baru saja dilangsungkan, namun pemenangnya masih terlibat sengketa. (gun/c10/nw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar