PENGADUAN warga kampung adat Megou Pak soal pembantaian di Mesuji membuat publik memfokuskan perhatian ke Lampung. Sebab, dalam pengaduan ke DPR itu, disebutkan 30 warga dibantai petugas pamswakarsa bentukan perusahaan perkebunan dengan dibantu aparat. Bagaimana sebenarnya kasus itu?
Nama Mesuji selama ini hanya dikenal sebagai kabupaten di salah satu sisi selatan Provinsi Lampung. Kabupaten berjarak 120 km dari Bandar Lampung itu baru berdiri pada 29 Oktober 2008 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang. Mayoritas wilayah Mesuji memang hutan. Mulai masuk wilayah itu dari arah Bandar Lampung, hamparan hutan albasia (sengon) dan karet yang dikelola PT Silva Inhutani langsung menyambut. Lokasi tersebut selama ini dikenal sebagai register 45.
Nah, kasus di lokasi itulah yang dibawa lembaga adat Megou Pak ke Senayan beberapa waktu lalu. Dengan membawa rekaman video amatir yang memuat gambar pemenggalan kepala, lembaga adat tersebut berupaya membangkitkan emosi wakil rakyat agar segera menyelesaikan kasus agraria itu.
Berdasar penelusuran Jawa Pos, sebenarnya kasus di register 45 itu tidak berkaitan dengan aksi pemenggalan kepala tersebut. Ada korban jiwa yang jatuh gara-gara konflik warga dengan perusahaan memang ya. Tetapi, korban tewas karena tembakan petugas pengamanan dari kesatuan Brimob, bukan pembantaian seperti yang ada di video amatir itu.
Sejak 1997, di register 45 tersebut memang kerap timbul kericuhan antara warga dan pengelola lahan PT Silva Inhutani. Kericuhan selalu timbul karena upaya penggusuran terhadap warga yang menduduki daerah tersebut. Di hutan negara itu, memang ada ribuan penduduk yang mendiami sejumlah titik. Mereka membentuk perkampungan sendiri-sendiri. Antara lain, Pelitajaya, Karya Jaya, Moro-Moro, Tanjung Harapan, Stajim, Umbul Patuk, Palirik, Tugu Roda, Suko Agung, Umbul Alang, dan Talang Gunung. Total, ada sekitar 12 ribu KK yang mendiami kampung-kampung itu.
Seluruh kampung tersebut dianggap ilegal oleh PT Silva Inhutani maupun Pemkab Mesuji, kecuali Talang Gunung yang memang dihuni warga asli. Warga di Talang Gunung mendiami lokasi tersebut jauh sebelum perusahaan perkebunan itu beroperasi.
Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Mesuji Syafri mengatakan, keberadaan mereka selama ini ilegal. ”Mereka mendiami hutan negara. Jadi, keberadaannya ya harus ditertibkan, kecuali warga di Talang Gunung yang memang sudah diakui Kementerian Kehutanan,” jelasnya.
Penertiban di lahan register 45 tersebut sebenarnya bukan sekali saja. Aksi berdarah pada 6 November 2010 itu merupakan penertiban di bagian Pelitajaya. Akibatnya, seorang penghuni tanah register 45 Made Asta tewas dan seorang lagi yang bernama Nyoman Sumarjie mengalami luka tembak di kaki kanan. Kasus penembakan itu langsung ditangani Mabes Polri. Versi warga, Made Asta ditembak ketika hendak menolong seorang penghuni bernama Komang. Kaki Komang ditembak saat meminta temannya yang ditangkap polisi dilepas. Versi polisi berbeda lagi. Made Asta ditembak karena hendak membacok AKP Priyo, salah seorang perwira polisi yang ikut dalam penertiban itu.
Konflik serupa terjadi pada 8 September lalu, ketika dilakukan pengosongan lahan oleh tim terpadu perlindungan hutan Provinsi Lampung di kawasan blok VIII atau yang dikenal dengan permukiman Nanasan. Ratusan orang yang kebanyakan merupakan transmigran dari Jawa dan Bali pun terusir. Gesekan antara warga dan aparat bisa dihindarkan. Meskipun, sebagian warga mengaku diintimidasi aparat, khususnya petugas pamswakarsa bentukan PT Silva Inhutani.
Kasus penertiban pada 8 September itulah yang kemudian dibawa ke Senayan oleh lembaga adat Megou Pak, Tulang Bawang. Mereka melakukan hal tersebut karena merasa bahwa selama ini tidak ada penyelesaian di tingkat pemerintah daerah (pemda).
”Selama ini, tidak ada upaya penyelesaian dari pemerintah, lebih-lebih yang berpihak ke masyarakat,” ujar Yusuf Ali selaku koordinator masyarakat dari lembaga adat Megou Pak.
Syafri mengatakan, sebenarnya pemkab bukan tidak pernah memberikan solusi kepada warga. Pemkab juga sudah beberapa kali memberikan peringatan dan sosialisasi agar warga mau pindah. ”Tapi, hal itu tidak pernah digubris warga di sana,” paparnya. Menurut dia, nanti seluruh warga yang mendiami register 45 pasti ditertibkan, kecuali yang ada di kampung Talang Gunung.
Meski begitu, tidak berarti pemerintah tidak bersalah dalam kasus register 45. Yang membuat kasus itu terus membesar ialah adanya pengesahan perluasan area hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) untuk PT Silva Inhutani. Awalnya, area register 45 yang dikelola PT Silva Inhutani hanya seluas 33.500 hektare (ha). Sejak ada persetujuan perluasan tanah dari Kemenhut, kini lahan tersebut menjadi 43.100 ha. Perluasan lahan itulah yang dianggap warga sebagai pencaplokan.
Sayang, warga lembaga adat Megou Pak yang wadul ke DPR seolah mendramatisasi masalah di register 45. Salah satunya dengan membawa video yang memuat adegan pembantaian. Memang ada pembantaian dalam sengketa lahan Mesuji. Tetapi, pembantaian itu terjadi dalam konflik antara warga Sungai Sodong dan PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Bukan di register 45 yang terdapat di Kabupaten Mesuji, Lampung.
Jawa Pos sudah menelusuri titik-titik di lahan register 45. Tak ada seorang pun di antara mereka yang membenarkan bahwa ada pembantaian dalam kasus PT Silva Inhutani.
Di Kabupaten Mesuji, kasus agraria memang cenderung lebih banyak. Sebab, di daerah itu memang banyak perkebunan besar swasta (PBS). Berdasar data yang tercatat di Dishutbun Mesuji, setidaknya ada sebelas PBS. Jika ada masalah dengan warga, kebanyakan menyangkut kerja sama lahan plasma. Lahan plasma merupakan lahan warga yang dikelola pabrik dan hasilnya diwujudkan dengan pembagian keuntungan.
Kasus seperti itulah yang terjadi di PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) sehingga mengakibatkan seorang bernama Jailani tewas tertembak aparat dan tujuh warga lain mengalami luka-luka. Tragedi memilukan tersebut terjadi pada 10 November 2011. Konflik antara PT BSMI dan warga asli dari tiga kampung di Kabupaten Mesuji itu bermula dari saling klaim lahan plasma. Perusahaan dianggap mencaplok lahan plasma warga. Ada 17.769 ha lahan yang dipermasalahkan oleh warga.
Mengenai persoalan di PT BSMI, Syafri menuturkan bahwa pemkab menghadapi beberapa kendala. ”Kami sebenarnya beberapa kali mempertemukan warga dengan PT BSMI, tapi lagi-lagi buntu,” ujarnya. Kebuntuan itu disebabkan kekuranglengkapan data yang dimiliki pemkab.
”Pemkab Mesuji kan baru berumur tiga tahun. Sedangkan PT BSMI ada sejak kawasan itu masuk wilayah Lampung Utara,” jelas pejabat dari Way Serdang tersebut.
Kabupaten Mesuji merupakan pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang pada 2008. Tulang Bawang sebelumnya juga merupakan pecahan dari Kabupaten Lampung Utara.
Syafri menjelaskan, pihak PT BSMI selama ini juga tidak transparan. Setiap dimintai data, mereka selalu mengatakan bahwa seluruh data berada di kantor pusat di Jakarta. Jawa Pos juga belum berhasil mendapatkan konfirmasi resmi dari PT BSMI. Sebab, sejak tragedi 10 November tersebut, kegiatan di perusahaan itu vakum. Tidak ada seorang karyawan pun yang berada di lokasi tersebut. Yang ada hanya segelintir penjaga di pintu masuk pabrik pengolahan sawit dan 40 personel Brimob yang di-BKO dari Polres Tulang Bawang.
Syafri menambahkan bahwa pihaknya juga sudah meminta BPN melakukan pengukuran. Dengan begitu, diharapkan bisa diketahui batas-batas tanah PT BSMI dan warga. Namun, pengukuran lahan perkebunan yang luasnya puluhan hektare itu harus diajukan lewat BPN pusat. ”Sudah kami ajukan, hingga kini juga belum ada tanggapan,” terangnya.
Sementara itu, kasus di Mesuji, Kabupaten OKI, tak jauh berbeda dengan polemik antara warga Kabupaten Mesuji dan PT BSMI. Warga Desa Sungai Sodong dan PT SWA bersengketa soal kerja sama pengelolaan lahan plasma.
Kades Sungai Sodong Ma’unah mengatakan, selama ini PT SWA tidak memenuhi kesepakatan kerja sama pengelolaan lahan plasma. Versi Kades, PT SWA tanpa pemberitahuan tiba-tiba membatalkan kerja sama pengelolaan lahan plasma. Padahal, 829 warga sudah menyerahkan surat keterangan tanah (SKT) ke PT SWA. Setiap warga yang memiliki 1 ha tanah memiliki satu SKT.
Jawa Pos sempat melihat surat perjanjian kerja sama antara warga Sungai Sodong dan PT SWA. Namun, dalam perjanjian itu, PT SWA masih bernama PT Treekreasi Margamulia. Berdasar penelusuran Jawa Pos, kepemilikan perusahaan pengelolaan sawit itu memang sering berganti-ganti.
Dalam surat perjanjian tersebut, tertulis beberapa kesepakatan. Salah satunya, kerja sama pengelolaan lahan plasma selama sepuluh tahun sejak 2002. Selama kurun waktu tersebut, warga yang memiliki lahan plasma mendapatkan bagi hasil per bulan. Besaran bagi hasil itu tiap bulan berbeda-beda.
Pada tahun pertama (2002), warga seharusnya memperoleh Rp 195 ribu per bulan per hektare. Hingga tahun kesepuluh (2011), bagi hasil yang diterima warga per bulan naik menjadi Rp 405 ribu per bulan per hektare. Selama kurun waktu sepuluh tahun, warga memang hanya diberi uang bulanan karena perusahaan memotong besaran bagi hasil itu dengan biaya perawatan dan pembibitan. Aturan kerja sama lahan plasma lazimnya memang seperti itu.
Nah, pada tahun kesepuluh, seharusnya kerja sama berakhir dan lahan plasma yang telah ditanami sawit menjadi hak warga. Warga bisa meneruskan kerja sama pengelolaan atau mengelola sendiri lahan tersebut.
Namun, kenyataannya, sejak 2002 hingga saat ini warga tidak mendapatkan bagi hasil apa pun dari PT SWA. Menurut penuturan Ma’unah, pihak PT SWA pernah mengatakan bahwa kerja sama itu dibatalkan. Pembatalan tersebut dilakukan di hadapan Kades lama sebelum Ma’unah. ”Tapi, saya cek ke Kades lama, yang terjadi tidak seperti penuturan mereka. Seharusnya, kalau batal, SPT milik warga kan dikembalikan,” ujarnya.
Dari situlah sengketa terjadi. Warga kerap memanen sendiri di dalam lahan plasma yang diklaim milik mereka. Namun, perbuatan itu dianggap sebagai tindak pencurian oleh perusahaan tersebut. Tindakan represif lantas kerap dilakukan oleh personel pamswakarsa bentukan PT SWA hingga muncul tragedi berdarah April lalu.
Anggota pamswakarsa tersebut membantai dua warga Sungai Sodong, yakni Syaktu Macan, 19, dan Indra Syafei, 17. Pembantaian itu lantas dibalas dengan pembunuhan dan pemenggalan kepala. Lima karyawan PT SWA tewas akibat aksi tersebut. Mereka adalah Hambali, asisten perusahaan; Haris Fadillah, asisten kebun; Ardi, karyawan bagian dapur; serta Akbar dan Sukamto, keduanya anggota pamswakarsa yang kepalanya dipenggal.
Bupati OKI menyatakan bahwa pihaknya sebenarnya telah melakukan sosialisasi. Seperti halnya dengan PT BSMI, PT SWA selama ini tidak kooperatif. Permintaan pengukuran lahan ke BPN pun tidak kunjung mendapatkan balasan. Sejak tragedi berdarah April lalu, PT SWA sangat tertutup. Jawa Pos mencoba meminta konfirmasi ke pabrik. Namun, penjaga keamanannya mengatakan bahwa seluruh pihak manajemen tidak berada di tempat.
Kasus agraria yang terjadi di Mesuji, baik di Provinsi Lampung maupun Sumatera Selatan, bak bola salju. Meski saat ini kondisi di tiga kawasan konflik itu tergolong mulai kondusif, ke depan tidak tertutup kemungkinan konflik tersebut kembali membesar. Sebab, penyelesaian konkret atas persoalan itu tak kunjung dilakukan, terutama oleh pemerintah pusat.
Karena itu, warga kini menggantungkan harapan kepada anggota Komisi III DPR yang menangani kasus tersebut. Warga maupun pemkab setempat mengharapkan komisi III bisa mendesak BPN untuk melakukan pengukuran lahan. Sebab, dengan pengukuran, persoalan tanah tersebut bisa dicarikan solusi lebih lanjut.
Sayang, anggota DPR yang diharapkan mengetahui langsung kondisi lapangan Minggu lalu hanya mendatangi register 45. Wakil rakyat tersebut tak mendatangi warga yang berkonflik dengan PT SWA dan PT BSMI. Padahal, di situlah potensi konflik berdarah bisa terulang. Sebab, warga memang sebenarnya memiliki tanah yang sah.
Persoalan di register 45 memang tidak boleh dikesampingkan. Sebab, hingga kini warga yang terusir kembali menduduki tanah tersebut. Bahkan, jumlah warga lebih banyak. Keberadaan mereka juga mulai diarahkan ke ranah pidana oleh polisi.
Surat panggilan terhadap sejumlah pihak yang ditengarai sebagai koordinator pun sudah dilayangkan oleh Satreskrim Polres Tulang Bawang. Surat bernomor B/1300/XII/2011 itu dikirim pada 17 Desember lalu. Namun, warga menolak menghadiri pemanggilan untuk pemeriksaan tersebut.
”Kami tidak akan mendatangi panggilan itu karena kami tidak salah,” ujar Andi Hendra, koordinator warga yang ada di sisi Pelitajaya. Gesekan pasti terjadi jika warga tetap tidak datang hingga pemanggilan kedua. Sebab, berdasar KUHP, pada pemanggilan ketiga polisi bisa langsung membawa secara paksa orang yang bersangkutan. (gun/c11/nw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar