Koordinator Tim Advokasi dan Pencari Fakta Koalisi Rakyat Nusa Tenggara Barat (NTB) Dwi Sudarsono, yang didampingi anggotanya, kepada wartawan di Mataram, Senin (2/1) mengatakan, korban tewas dalam tragedi Sape, sebanyak tiga orang, bukan dua orang sesuai laporan polisi.
"Dua orang korban tewas terkena peluru polisi masing-masing Arif Rahman (19) dan Syaiful (17), dan seorang petani bernama Syarifuddin Arahman (45) yang juga tewas namun belum diketahui penyebabnya. Tetapi, Syarifuddin juga ikut dalam unjuk rasa di Pelabuhan Sape," ujarnya.
Kejanggalan lainnya, kata Dwi, salah seorang korban tewas yakni Syaiful, ditembak dari arah belakang saat hendak mengangkat tubuh sepupunya Arif Rahman yang tergeletak terkena peluru.
Syaiful terkena tembakan di dada kiri hingga roboh di samping sepupunya Arif Rahman. Lokasi kejadian itu berjarak sekitar 600 meter dari Pelabuhan Sape.
"Saksi mata yang kami mintai keterangan menyatakan mereka berupaya lari dari kawasan Pelabuhan Sape, namun ditembak. Jadi, ada unsur kesengajaan untuk membidik warga pengunjuk rasa," ujar Dwi.
Bahkan, saksi mata sempat melihat polisi berpakaian preman (bukan seragam), mendekati dua orang korban penembakan itu dan menendangnya, yang diduga untuk memastikan apakah kedua korban penembakan itu sudah tewas atau belum.
Saksi mata itu sempat dipanggil polisi tersebut, namun ia berupaya lari sekuat tenaga hingga luput dari penembakan.
"Kami juga menemukan kejanggalan lain dalam aksi pembubaran paksa itu. Polisi mengatakan warga pengunjuk rasa melakukan perlawanan, padahal polisi yang menyerang, buktinya ada perintah maju beberapa langkah hingga terjadi tindakan brutal aparat kepolisian, dan berujung tiga orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka," ujarnya.
Tim advokasi Koalisi Rakyat NTB itu juga menemukan data dan fakta tindak pidana penganiayaan yang dilakukan sejumlah aparat kepolisian terhadap warga pengunjuk rasa.
Dwi dan tim advokasi Koalisi Rakyat NTB lainnya, mengatakan, data dan keterangan itu dihimpun dari hasil wawancara individu, menghimpun keterangan para korban luka-luka, keterangan pengunjuk rasa, wawancara dengan keluarga korban tewas, dan peninjauan lokasi kejadian.
Lokasi advokasi dan pengumpulan data dan fakta juga dilakukan di tiga desa yakni Desa Sumi, Rato dan Soro.
"Hasil temuan lapangan ini, segera kami sampaikan kepada Komnas HAM di Jakarta, Komisi Perlindungan Anak, dan DPR, untuk ditindaklanjuti," ujarnya.
Pada 24 Desember 2011, aparat Polres Bima yang didukung Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda NTB, membubarkan paksa aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, yang telah berlangsung sejak 19 Desember 2011.
Pelabuhan Sape berlokasi di Kecamatan Sape, namun warga pengunjuk rasa yang menguasai kawasan itu merupakan penduduk Kecamatan Lambu, yang melakukan aksi protes terhadap usaha penambangan di wilayah Lambu.
Mereka menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) bernomor 188/45/357/004/2010, yang diberikan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), yang mencakup areal tambang seluas 24.980 hektare, yang mencakup wilayah kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu.
Polisi menggempur pengunjuk rasa dengan tembakan hingga dua orang dilaporkan tewas terkena peluru, dan puluhan warga pengunjuk rasa lainnya luka-luka.
Ribuan pengunjuk rasa yang terdesak saat digempur polisi, berpencar dan kelompok yang kembali ke Kecamatan Lambu, murka dan membakar Kantor Desa Lambu, rumah Kepala Desa Lambu, dan Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Lambu. [Ant/L-9]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cara Mudah, Cepat Dan Tanpa Resiko Membuat Uang Secara Online, Ikutan Gabung yuk ! Klik Disini !
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar