---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MAGELANG - Pemkot Magelang dan PT Putra Wahid Pratama - PT Kuntjup (JO) Salatiga selaku investor pembangunan kembali Pasar Rejowinangun dinilai mengulang kesalahan pernah terjadi sebelumnya. Penandatangan adendum (perbaikan) Memorandum of Undestanding (MoU) pada 5 Agustus 2011 lalu tentang perubahan pembiayaan pembangunan sebagai perpaduan antara investasi dan APBD telah menafikan keinginan pedagang soal persetujuan harga kios. Selama ini, salah satu penyebab pasar tak bisa segera dibangun karena belum ada kesepakatan harga antara pedagang dan investor yang ditunjuk langsung walikota .
“ Lha ini kok diulang kembali. Penandatanganan adendum MoU tanpa didahului kesepakatan harga dengan 146 pedagang korban kebakaran. Ini namanya nyarak,” kata Kepala Suku LSM Human Right Defdenders (HRD) Agung Nugroho kemarin (2/2).
Anggota Tim Advokasi Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang (TAP2RM) meminta pemkot dan investor tak membuat kesepakatan apapun sebelum ada kesepakatan dengan pedagang soal harga. Termasuk, penandatanganan adendum perjanjian kerjasama (PK), pascapenandatangan adendum MoU.
“Dalam pertemuan seminggu lalu antara walikota dan Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) dengan tim advokasi, kami minta tak ada langkah hukum apapun,” pintanya.
Ditegaskan, sebelum ada kesepakatan harga, pihaknya juga mendesak agar segala muatan politik dan kepentingan dibuang jauh-jauh. “Prioritaskan kebutuhan masyarakat pedagang korban kebakaran yang sudah hampir empat tahun terkatung-katung,” desak Agung.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang Bambang Tjatur Iswanto menilai pemkot telah lalai saat menandatangani adendum MoU.
Pembangunan pasar tak lagi investasi murni. Adanya dana dari APBD dalam pembangunan pasar merupakan sebuah kesatuan. “ Secara otomatis perlu mencantumkan Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa sebagai landasan hukum,” ingatnya.
Padahal merujuk ke belakang, penunjukkan langsung JO dan pembiayaan pembangunan pasar murni investasi hanya mendasarkan pada Permendagri.
“ Lha kalau sampai subtansi dan landasan hukum diubah, ya bukan adendum lagi. MoU harus batal. Kalau tetap diteruskan, bisa mengakibatkan cacat hukum,” jelasnya.
Luthfi Dwi Yoga dari YLBH-LBH Semarang selaku pendamping pedagang mengimbau pemkot dan investor lebih jernih menyikapi keadaan. Lepas dari benar salah soal penunjukan langsung investor atau MoU yang cuma diadendum, mestinya batal karena adanya dana APBD untuk pembangunan los.
“Kami dari TAP2RM meminta agar kepentingan pedagang diperhatikan. Terutama soal harga dan tata letak kios. Karena ini menyangkut hak pedagang,” tegasnya.
Seperti diberitakan kemarin, dalam adendum MoU yang ditandatangani Rabu (1/2) lalu, pemkot hanya menjalin kerjasama dengan investor untuk membangun kios pasar seluas 4.760 meter persegi dari total 42 ribu meter persegi lahan yang akan dibangun. Investasi pembangunan pasar itu menjadi Rp 29.882.850.000 dari rencana semula sebesar Rp 100 miliar. Adendum MoU itu diteken Wali Kota Sigit Widyonindito dengan Direktur Putra Wahid Pratama (PWP) Sugeng Sugiharto.
Kesepakatan ini merupakan hasil revisi yang dibuat pemkot dan investor. Setelah penandatangann addendum, pemkot berjanji menyosialisakan ke pedagang mengenai harga dan gambar kios pasar. Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan PK dan disusul dengan surat perintah mulai kerja (SPMK). Harapnnya, akhir bulan ini, pembangunan kios sudah dimulai
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca Juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar