Oleh M. Hari Atmoko
Marmujo berlalu lalang
sambil menanyakan tempat mencari ilalang. Katanya, daun itu untuk
menahan kucuran darah dari tangan kanan Arwanto yang terluka saat
menatah batu di tepi alur Kali Pabelan Mati, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah.
Tetesan darah membekas di batu berbentuk kotak, beberapa
tetes lainnya menempel di gagang palu dan pahat yang digunakan lelaki
muda seniman petani dari Gunung Merapi itu untuk membuat karya pahatnya.
Arwanto,
beberapa saat usai Asar telah kembali lagi ke tempat yang oleh
Komunitas Lima Gunung Magelang, Jawa Tengah itu disebut sebagai Museum
Kali Wangsit, tak jauh dari panggung terbuka Studio Mendut.
Luka
kecil yang mengakibatkan darah menetes terus dari tangan kanannya telah
diperban oleh petugas medis di Rumah Sakit Umum Daerah Muntilan,
Kabupaten Magelang yang merawatnya.
Ia adalah bagian di antara
sekitar 30 seniman petani anggota Komunitas Lima Gunung yang sedang
memahat sebanyak 66 batu berasal dari beberapa tempat di alur Kali
Pabelan dan Kali Putih. Batu-batu itu material yang terbawa banjir lahar
secara intensif dari Gunung Merapi belum lama ini.
Suara batu
yang ditatah terdengar berkecamuk bagaikan menimpali gemericik air dari
alur Kali Pabelan Mati yang diduga bekas jalur banjir lahar Merapi pada
masa lampau.
Ketika itu, mereka di bawah arahan seniman patung
lereng Gunung Merapi, Ismanto, memahat dengan tatah dan palu atas
puluhan batu yang masing-masing berbentuk kotak.
Bongkahan
batu-batu itu tertata berderet memanjang sekitar 100 meter dari bawah
tangga panggung alam Studio Mendut hingga Museum Kali Wangsit, di tepi
sungai tersebut.
Berbagai relief sederhana tergambar dari tatahan
mereka yang umumnya berlatar belakang seniman tari tradisional berasal
dari desa-desa di lima gunung di Kabupaten Magelang yakni Merapi,
Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Karya mereka antara lain berupa
dedaunan, topeng, mobil, satwa, ornamen, tangan, dan kaki, serta karya
simbolik lainnya.
Seorang seniman petani Dusun Keron, Desa
Krogowanan, Kecamatan Sawangan di kawasan antara Gunung Merapi dengan
Merbabu, Sujono, menatah batu di deretan terujung menghasilkan tulisan
"Slamet" (Selamat, red.).
"Mereka bebas menorehkan karya di setiap
batu. Dua hari terakhir mereka kerjakan. Sejak kemarin (11/4) mereka
belajar membuat patung, memahat. Apapun karya mereka menjadi koleksi
Museum Kali Wangsit," kata Ismanto.
Sejumlah patung telah
bertengger di tempat yang sifatnya disebut oleh pemimpin tertinggi
Komunitas Liga Gunung, Sutanto, sebagai "museum proses" yang dicanangkan
pada awal Juli lalu, bertepatan dengan rangkaian Festival Lima Gunung
2011.
Beberapa patung itu antara lain berbentuk Dewi Tara, Ken
Dedes, Ganesha, Katak, dan Semar menempati ruang alami dengan
rerumputan, pepohonan, dan bebatuan lain yang masih berserakan di tepi
sungai setempat.
Selama sebulan terakhir sejak "museum proses" itu
dicanangkan, beberapa kelompok seniman telah menjalani proses
eksplorasi di Museum Kali Wangsit antara lain belasan seniman petani
Sanggar Saujana Keron berlatih tari dipimpin koreografer dan pengajar
tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Eko Supendi.
Selain
itu, tujuh mahasiswa berasal dari sejumlah program pendidikan di Nanyang
Academy of Fine Arts (NAFA) Singapura dipimpin pengajar mereka yang
juga koreografer dan pengajar tari klasik berasal dari India, Siri Rama,
berkolaborasi olahgerak dengan lima seniman petani Komunitas Lima
Gunung yang memainkan peran sebagai juru kunci Museum Kali Wangsit.
Telah
singgah pula di tempat itu komponis berasal dari Kyoto, Jepang, Makoto
Nomura dan Yoshimori Makoto untuk memainkan repertoar musik karya
kontemporer dan improvisasi mereka menggunakan piano dan pianika,
berkolaborasi dengan Sutanto Mendut, mengiring sajian gerak performa
spontan sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung seperti Djoko Widyanto,
Arwanto, Parmadi, Kisut, Kipli, Wenti Nuryanti, Rahmad Murti Waskito, Ki
Ipang, Ismanto, dan puluhan anak korban banjir lahar Merapi yang
tergabung dalam grup Teater Anak Kali Magelang.
Selama dua hari
terakhir, 11-12 Agustus 2011, puluhan seniman petani itu menjalani
lokakarya patung di Museum Kali Wangsit sebagai bagian dari proses
mereka berolahseni dan budaya, menggali inspirasi dan apresiasi gerakan
kultural komunitas gunungnya.
Ismanto yang juga pemimpin grup
Teater Gadung Mlati, Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun,
Kabupaten Magelang, di lereng barat daya puncak Merapi itu mengatakan,
kalau mereka belajar membuat patung atau karya pahat batu saat ini bukan
berarti mereka semua harus menjadi seniman patung.
"Tetapi ada
kesadaran budaya untuk mereka menjalani proses berkomunitas dan
berkesenian, memperkuat kesenian tradisional dan kontemporer desa serta
gunung masing-masing melalui lokakarya patung ini" katanya.
Setiap
tatah yang menyentuh batu untuk menghasilkan suatu bentuk, katanya,
bagaikan gerak inspirasi setiap mereka dalam mengisi ruh untuk kekuatan
karya masing-masing.
Setiap karya batu mereka, katanya, ibarat
tebaran orasi atas makna hidup berkesenian dan berkebudayaan gunung yang
telah mereka jalani dalam komunitasnya selama ini.
"Maksudnya
semua yang telah meniti batu-batu bertatah ragam relief dan karya
pahatan itu, semoga mendapatkan keselamatan," kata Sujono saat
menjelaskan makna karya pahatnya bertulis "Slamet" itu.
Lain lagi
dengan pemimpin komunitas Sanggar Wonoseni Bandongan, Ki Ipang yang
membuat karya pahat berbentuk relief daun tembakau.
"Saat ini
petani gunung di sini sedang musim panen tembakau, cuaca yang bagus,
panenan semoga menggembirakan petani, dan karya ini menjadi kenangan
musim yang tercatat di batu," katanya.
Puluhan batu kotak-kotak
itu dipasang berderet, agaknya dengan sengaja ditata sebagai jalan
setapak untuk dilalui siapa saja yang masuk Museum Kali Wangsit.
Karya
pahat Jono "Slamet" terletak di salah satu ujung deretan batu, yang
mengapit aliran kecil air dari tebing Museum Kali Wangsit itu menuju
alur Kali Pabelan Mati itu, sedangkan karya pahat Ki Ipang "daun
tembakau" di deretan batu kelima, di bawah tangga keluar panggung
terbuka Studio Mendut.
Titian bebatuan berderet itu, kata Sutanto,
mungkin menjadi ungkapan atas berbagai simbol betapa perjalanan hidup
manusia penuh dengan liku-liku, namun harus terus ditapaki untuk
mencapai suatu tujuan kebaikan.
Semua orang pasti ingin sejarah
dinamika perjalanan hidup dan gerakan kulturalnya menjadi catatan
penting atas usaha-usaha mendapatkan kebahagiaan dan bermanfaat untuk
kepentingan kemajuan kemanusiaan kelak.
"Semoga memasuki ’museum
proses’ ini, banyak pelajaran nilai budaya dan kehidupan desa serta
gunung-gunung bisa diserap oleh siapa saja, apalagi oleh mereka yang
selama ini ’serawung’ (bergaul, red) dan bersentuhan dengan lima
gunung," katanya.
Dan kali ini, Komunitas Lima Gunung mencatatkan
orasi mereka melalui pahatan batu-batu yang sebelumnya mengalir terbawa
banjir lahar Gunung Merapi, hingga akhirnya bersemayam di Museum Kali
Wangsit.
Kabar
gembira, Bagi Anda atau saudara Anda yang menderita asma, sesak napas
karena rokok atau sebab lain, kini tersedia obatnya, Insya Allah sembuh,
90% pasien kami sembuh total, selebihnya bebas kertegantungan obat.
Untuk Anda yang ingin mencoba (gratis), SMS nama dan alamat serta
keluhan penyakit, kirim ke 081392593617 Kunjungi Website
Magelang Hari Ini :
-Duh, Kades `Nunggu` Buka Puasa sambil Berjudi
-Tetap Layani Pembuatan Kartu Kuning
-Waspada Copet, Awasi Penumpang
-Dipantau, Ketersediaan Gas Elpiji Jelang Lebaran
-Orasi Batu di Museum Kali Wangsit
-Menhan Indikasikan Dana Otsus Papua Diselewengkan untuk Makar
-Usulan Referendum OPM Tak Didukung Mayoritas Rakyat Papua
-Tetap Layani Pembuatan Kartu Kuning
-Waspada Copet, Awasi Penumpang
-Dipantau, Ketersediaan Gas Elpiji Jelang Lebaran
-Orasi Batu di Museum Kali Wangsit
-Menhan Indikasikan Dana Otsus Papua Diselewengkan untuk Makar
-Usulan Referendum OPM Tak Didukung Mayoritas Rakyat Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar