MUKHTAR LUTFI, Magelang-PAGI itu Budi Haryanto, warga Blabak, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jateng, sudah berdiri di samping salah satu tebing daerah perbukitan Desa Trenten, Kecamatan Candimulyo. Tempat tersebut lumayan jauh dari rumahnya. Hari itu dia dimintai tolong warga setempat untuk mencari mata air. Maklum, daerah tersebut benar-benar mengalami kesulitan air pada musim kemarau ini.
Dengan cepat, Budi memulai pekerjaannya hari itu. Diawali dengan berdoa, sejurus kemudian matanya mengamati sekeliling. Dia berfokus menghadap tanah.
Sebuah ranting pohon di tangan mengikuti gerakan matanya. Ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Memutar dan mulai mengelilingi daerah tersebut.
Tidak berselang lama, hanya sekitar lima menit kemudian, matanya tertuju ke salah satu tempat yang mungkin biasa bagi orang awam. Sebab, hanya ada tanah dan rerumputan liar di atasnya. ”Di sini, ayo, silakan digali,” kata Budi, meminta warga menggali sebidang tanah perkebunan tersebut.
Beberapa warga kemudian menggali tanah yang ditunjuk Budi. Satu demi satu mata cangkul mengayun ke dalam tanah tersebut. Hinga akhirnya, terbentuk sebuah kubangan berkedalaman 1,5 meter. Lebarnya sekitar 2 meter.
Tetapi, mana airnya? Beberapa warga bertanya-tanya. Ternyata, itu bukan tempat mata air. Setelah kubangan selesai, Budi melangkah menuju perbukitan yang berjarak sekitar 10 meter dari kubangan tersebut. Seperti sebelumnya, matanya masih berfokus mengamati tebing di hadapannya.
Budi kembali menunjuk sebuah titik di tebing setinggi sekitar 20 meter itu. ”Di sini, silakan digali,” ucap dia sambil menunjuk sebuah titik di bawah tebing.
Dengan menggunakan linggis dan cangkul, warga kembali menggali. Posisinya horizontal ke tebing tersebut. Sedikit susah memang. Sebab, selain tanah, ada batu yang harus ditembus oleh linggis dan cangkul.
Kondisi tersebut cukup menguras waktu dan tenaga. Bahkan, berjam-jam penggali harus bertempur dengan batu cadas yang kerasnya bukan main. Belum lagi, medan yang sulit. ”Di sini ada sungai bawah tanah, airnya besar,” terang Budi.
Tak lama kemudian, lubang yang digali itu mulai mengeluarkan air. Awalnya masih sebatas resapan. Tetapi, lama-kelamaan air mengalir cukup deras. ”Waaaaaaaaaaaaaaaa,” teriak warga kegirangan. ”Lha, kubangan itu bermanfaat menampung air sementara daripada lari ke mana-mana,” ujar Budi.
Setelah air mengalir cukup deras, pipa besi mulai ditancapkan ke lubang tersebut. Lalu, pipa berukuran besar disambung memanjang menuju permukiman penduduk. Selesai sudah masalah air yang dikeluhkan oleh warga pada musim kemarau ini.
Setelah itu, Budi tiba-tiba saja menjadi seperti pahlawan. Disanjung, disalami, dan diberi ucapan terima kasih berulang oleh warga. Keahliannya menemukan sumber air sangat membantu warga. ”Itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong,” ucap Budi, merendah.
Ya, sejak 1997 atau sekitar 14 tahun berjalan, sudah tak terhitung berapa ribu warga yang berhasil dia bebaskan dari kesulitan air bersih. Bukan hanya warga di Kabupaten Magelang, Boyolali, maupun Temanggung. Bahkan, dari keahlian mencari air itu, dalam beberapa bulan ke depan dia diminta menangani kesulitan air di Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya Kabupaten Ruteng dan Labuhan Bajo, oleh sebuah yayasan di Jakarta. Keahlian itu pula yang membuat dia dikenal sebagai Budi Air.
Ayah lima anak yang juga warga Dusun Sanggrahan, Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, tersebut sebenarnya tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang cukup tentang air. Bahkan, dia tidak malu jika orang mengetahui bahwa dirinya tidak pernah menyelesaikan pendidikan SD. ”Terus terang saja, saya hanya bersekolah hingga kelas IV SD. Namun, saya tidak mau anak-anak saya bernasib seperti bapaknya. Karena itu, saya bekerja keras dan selalu belajar dari lingkungan, orang lain, dan persoalan hidup,” ujar dia.
Meski begitu, dia mahir bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Dia belajar bahasa internasional itu dari buku dan seringnya mendengarkan radio (saat itu BBC). ”Dari mendengar, lalu belajar dari buku itu, akhirnya saya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris hingga sekarang. Dari situ, saya maksimalkan untuk mencari uang,” terangnya.
Sementara itu, keahlian mencari air, papar Budi, didapat dengan cara tidak sengaja. Berawal dari hobi mendaki gunung dan berbicara dalam bahasa Inggris tersebut, sekitar 1994 dia kerap membawa turis naik gunung. ”Merapi dan Merbabu biasanya. Guide lah ceritanya,” tuturnya.
Hingga akhirnya, dia membawa seorang warga negara Prancis naik ke Merapi. ”Kalau tidak salah, dia bernama Philips Hans. Dia seorang ahli geologi. Nah, selama perjalanan itu, saya belajar banyak dari dia. Baik tentang gunung berapi, lapisan-lapisan tanah, maupun kandungan di dalamnya,” ungkapnya.
Sejak itu dia mulai mendalami pengetahuan barunya tersebut. Membaca buku dan sering praktik iseng-iseng sendirian. Dari situ, dia mengetahui konsep horizontal drilling dan sumur tandem serta perpipaan.
Kini sudah tak terhitung warga yang dia bebaskan dari kesulitan air. Antara lain; warga Dusun Keron di Kecamatan Sawangan; Dusun Ngampel dan Tanen di Desa Ketunggeng, Kecamatan Dukun; Desa Jrakah di Kecamatan Srumbung; Sogaten di Kecamatan Pakis; serta Dusun Barisan, Karang, Bondala, dan Sirip di Kecamatan Candimulyo. Semua berada di Kabupaten Magelang. Juga, warga Desa Keseneng di Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung.
Bahkan, pada 2005 hingga 2009 dia dikontrak Pemerintah Kabupaten Boyolali melalui badan pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (bapermaskin) untuk menemukan sumber-sumber air bagi warga setempat yang selama ini mengalami kesulitan air bersih.
Budi menyatakan, dalam mencari air, tak jarang dirinya harus melawan alam. Contohnya, dia melawan kabut, cuaca dingin, dan kekurangan oksigen saat mencari air bagi warga di lereng Gunung Merbabu. Dia juga pernah harus membuat terowongan sedalam 50 meter terlebih dahulu untuk membantu warga di Kecamatan Cepogo dan Selo, Kabupaten Boyolali, terbebas dari kesulitan air. Pria kelahiran Magelang, 27 Agustus 1958, tersebut berprinsip, di daerah mana pun yang kesulitan air, pasti ada solusi.
Dikatakan Budi, sebelum mencari air, dirinya terlebih dahulu melihat kontur dan struktur tanah, dibarengi dengan feeling dan doa. Kadang dia juga melakukan ritual khusus seperti meditasi. ”Meditasi biasanya saya lakukan bersama warga di sekitar lokasi sumber air. Tujuannya, mendekatkan masyarakat dengan alam dan Allah. Dengan begitu, diharapkan warga setempat dapat melestarikan alam sekitar sehingga air tetap terjaga,” jelasnya.
Kini suami Hartini, 48, itu hanya bisa bersyukur. Sebab, yang dia lakukan bisa membuka mata masyarakat dan pemerintah bahwa kesulitan air bisa diatasi. ”Bagi saya, harta yang paling berharga adalah tali persaudaraan dengan orang-orang yang telah berhasil menikmati air dari jerih payah kami selama ini. Terus terang, hingga saat ini silaturahmi kami dengan warga yang terbebas dari kesulitan air tetap terjalin dengan sangat baik. Itu salah satu kebanggaan yang saya miliki hingga kini,” tegas dia. (jpnn/c11/nw)
Magelang Hari Ini : 19 Oktober 2011
-Agum Berharap Reformasi PSSI Berjalan Sukses
-30 Juru Pelihara Situs Ikuti Bimtek
-Andalkan Feeling dan Doa
-INVESTOR TINDAS HAK PEDAGANG PASAR REJOWINANGUN
-Gubernur Minta Kali Putih dan Pabelan Diwaspadai
-KETUA TKKSD DILAPORKAN KE POLRES MAGELANG
-28 Siswa SD Keracunan
-Terkesan Petani Binaan Muhammadiyah, Boediono Majukan Jadwal Kunjungan
-Raskin Impor dari Vietnam Bocor di Pasaran
-UMK Diusulkan Rp 870.000/Bulan
Dengan cepat, Budi memulai pekerjaannya hari itu. Diawali dengan berdoa, sejurus kemudian matanya mengamati sekeliling. Dia berfokus menghadap tanah.
Sebuah ranting pohon di tangan mengikuti gerakan matanya. Ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Memutar dan mulai mengelilingi daerah tersebut.
Tidak berselang lama, hanya sekitar lima menit kemudian, matanya tertuju ke salah satu tempat yang mungkin biasa bagi orang awam. Sebab, hanya ada tanah dan rerumputan liar di atasnya. ”Di sini, ayo, silakan digali,” kata Budi, meminta warga menggali sebidang tanah perkebunan tersebut.
Beberapa warga kemudian menggali tanah yang ditunjuk Budi. Satu demi satu mata cangkul mengayun ke dalam tanah tersebut. Hinga akhirnya, terbentuk sebuah kubangan berkedalaman 1,5 meter. Lebarnya sekitar 2 meter.
Tetapi, mana airnya? Beberapa warga bertanya-tanya. Ternyata, itu bukan tempat mata air. Setelah kubangan selesai, Budi melangkah menuju perbukitan yang berjarak sekitar 10 meter dari kubangan tersebut. Seperti sebelumnya, matanya masih berfokus mengamati tebing di hadapannya.
Budi kembali menunjuk sebuah titik di tebing setinggi sekitar 20 meter itu. ”Di sini, silakan digali,” ucap dia sambil menunjuk sebuah titik di bawah tebing.
Dengan menggunakan linggis dan cangkul, warga kembali menggali. Posisinya horizontal ke tebing tersebut. Sedikit susah memang. Sebab, selain tanah, ada batu yang harus ditembus oleh linggis dan cangkul.
Kondisi tersebut cukup menguras waktu dan tenaga. Bahkan, berjam-jam penggali harus bertempur dengan batu cadas yang kerasnya bukan main. Belum lagi, medan yang sulit. ”Di sini ada sungai bawah tanah, airnya besar,” terang Budi.
Tak lama kemudian, lubang yang digali itu mulai mengeluarkan air. Awalnya masih sebatas resapan. Tetapi, lama-kelamaan air mengalir cukup deras. ”Waaaaaaaaaaaaaaaa,” teriak warga kegirangan. ”Lha, kubangan itu bermanfaat menampung air sementara daripada lari ke mana-mana,” ujar Budi.
Setelah air mengalir cukup deras, pipa besi mulai ditancapkan ke lubang tersebut. Lalu, pipa berukuran besar disambung memanjang menuju permukiman penduduk. Selesai sudah masalah air yang dikeluhkan oleh warga pada musim kemarau ini.
Setelah itu, Budi tiba-tiba saja menjadi seperti pahlawan. Disanjung, disalami, dan diberi ucapan terima kasih berulang oleh warga. Keahliannya menemukan sumber air sangat membantu warga. ”Itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong,” ucap Budi, merendah.
Ya, sejak 1997 atau sekitar 14 tahun berjalan, sudah tak terhitung berapa ribu warga yang berhasil dia bebaskan dari kesulitan air bersih. Bukan hanya warga di Kabupaten Magelang, Boyolali, maupun Temanggung. Bahkan, dari keahlian mencari air itu, dalam beberapa bulan ke depan dia diminta menangani kesulitan air di Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya Kabupaten Ruteng dan Labuhan Bajo, oleh sebuah yayasan di Jakarta. Keahlian itu pula yang membuat dia dikenal sebagai Budi Air.
Ayah lima anak yang juga warga Dusun Sanggrahan, Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, tersebut sebenarnya tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang cukup tentang air. Bahkan, dia tidak malu jika orang mengetahui bahwa dirinya tidak pernah menyelesaikan pendidikan SD. ”Terus terang saja, saya hanya bersekolah hingga kelas IV SD. Namun, saya tidak mau anak-anak saya bernasib seperti bapaknya. Karena itu, saya bekerja keras dan selalu belajar dari lingkungan, orang lain, dan persoalan hidup,” ujar dia.
Meski begitu, dia mahir bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Dia belajar bahasa internasional itu dari buku dan seringnya mendengarkan radio (saat itu BBC). ”Dari mendengar, lalu belajar dari buku itu, akhirnya saya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris hingga sekarang. Dari situ, saya maksimalkan untuk mencari uang,” terangnya.
Sementara itu, keahlian mencari air, papar Budi, didapat dengan cara tidak sengaja. Berawal dari hobi mendaki gunung dan berbicara dalam bahasa Inggris tersebut, sekitar 1994 dia kerap membawa turis naik gunung. ”Merapi dan Merbabu biasanya. Guide lah ceritanya,” tuturnya.
Hingga akhirnya, dia membawa seorang warga negara Prancis naik ke Merapi. ”Kalau tidak salah, dia bernama Philips Hans. Dia seorang ahli geologi. Nah, selama perjalanan itu, saya belajar banyak dari dia. Baik tentang gunung berapi, lapisan-lapisan tanah, maupun kandungan di dalamnya,” ungkapnya.
Sejak itu dia mulai mendalami pengetahuan barunya tersebut. Membaca buku dan sering praktik iseng-iseng sendirian. Dari situ, dia mengetahui konsep horizontal drilling dan sumur tandem serta perpipaan.
Kini sudah tak terhitung warga yang dia bebaskan dari kesulitan air. Antara lain; warga Dusun Keron di Kecamatan Sawangan; Dusun Ngampel dan Tanen di Desa Ketunggeng, Kecamatan Dukun; Desa Jrakah di Kecamatan Srumbung; Sogaten di Kecamatan Pakis; serta Dusun Barisan, Karang, Bondala, dan Sirip di Kecamatan Candimulyo. Semua berada di Kabupaten Magelang. Juga, warga Desa Keseneng di Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung.
Bahkan, pada 2005 hingga 2009 dia dikontrak Pemerintah Kabupaten Boyolali melalui badan pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (bapermaskin) untuk menemukan sumber-sumber air bagi warga setempat yang selama ini mengalami kesulitan air bersih.
Budi menyatakan, dalam mencari air, tak jarang dirinya harus melawan alam. Contohnya, dia melawan kabut, cuaca dingin, dan kekurangan oksigen saat mencari air bagi warga di lereng Gunung Merbabu. Dia juga pernah harus membuat terowongan sedalam 50 meter terlebih dahulu untuk membantu warga di Kecamatan Cepogo dan Selo, Kabupaten Boyolali, terbebas dari kesulitan air. Pria kelahiran Magelang, 27 Agustus 1958, tersebut berprinsip, di daerah mana pun yang kesulitan air, pasti ada solusi.
Dikatakan Budi, sebelum mencari air, dirinya terlebih dahulu melihat kontur dan struktur tanah, dibarengi dengan feeling dan doa. Kadang dia juga melakukan ritual khusus seperti meditasi. ”Meditasi biasanya saya lakukan bersama warga di sekitar lokasi sumber air. Tujuannya, mendekatkan masyarakat dengan alam dan Allah. Dengan begitu, diharapkan warga setempat dapat melestarikan alam sekitar sehingga air tetap terjaga,” jelasnya.
Kini suami Hartini, 48, itu hanya bisa bersyukur. Sebab, yang dia lakukan bisa membuka mata masyarakat dan pemerintah bahwa kesulitan air bisa diatasi. ”Bagi saya, harta yang paling berharga adalah tali persaudaraan dengan orang-orang yang telah berhasil menikmati air dari jerih payah kami selama ini. Terus terang, hingga saat ini silaturahmi kami dengan warga yang terbebas dari kesulitan air tetap terjalin dengan sangat baik. Itu salah satu kebanggaan yang saya miliki hingga kini,” tegas dia. (jpnn/c11/nw)
Magelang Hari Ini : 19 Oktober 2011
-Agum Berharap Reformasi PSSI Berjalan Sukses
-30 Juru Pelihara Situs Ikuti Bimtek
-Andalkan Feeling dan Doa
-INVESTOR TINDAS HAK PEDAGANG PASAR REJOWINANGUN
-Gubernur Minta Kali Putih dan Pabelan Diwaspadai
-KETUA TKKSD DILAPORKAN KE POLRES MAGELANG
-28 Siswa SD Keracunan
-Terkesan Petani Binaan Muhammadiyah, Boediono Majukan Jadwal Kunjungan
-Raskin Impor dari Vietnam Bocor di Pasaran
-UMK Diusulkan Rp 870.000/Bulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar