---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 |
| Timnas senior pra- Piala Dunia 2014.(foto:okezone) |
Indonesia sudah tidak memiliki asa tersisa untuk melihat timnas Garuda berlaga di ajang Piala Dunia 2014. Semua pintu sudah tertutup, setelah Indonesia tak pernah sekalipun menang, bahkan imbang, di kualifikasi Grup E zona Asia menghadapi Iran, Bahrain dan Qatar.
Dengan situasi seperti itu, yang patut dipertahankan tinggal harga diri dan ini masih harus diperjuangkan di satu laga tersisa kontra Bahrain, 29 Februari nanti. Meski hasil dari laga itu tidak akan mengatrol Indonesia dari dasar klasemen, setidaknya Merah-Putih harus menunjukkan orang tidak bisa sembarangan meremehkan Garuda.
Kemenangan menghadapi Bahrain, jika berhasil didapatkan, akan sedikit mengobati kekecewaan fans dan memberikan suntikan rasa percaya diri bagi publik sepakbola tanah air, yang mengidam-idamkan Garuda bisa terbang tinggi.
Karena, kita sudah mahfum, sepakbola seperti olahraga lain bukan hanya masalah kalah dan menang, tapi juga alat pemersatu, identitas suatu bangsa. Jika tidak ada sepakbola, mungkin orang akan mengingat Brasil hanya sebagai negara berkembang. Tetapi, prestasi sepakbola mereka membuat orang dari bangsa lain menaruh hormat yang tinggi ketika mendengar nama Brasil disebut.
Kemenangan dari satu pertandingan melawan Bahrain memang tidak akan serta merta membuat nama Indonesia membumbung dan dibicarakan warga dunia dalam konteks positif. Tapi yang jelas, kekalahan akan semakin meneguhkan citra Indonesia sebagai negara lemah sepakbolanya.
Dan, sekarang orang mulai khawatir Indonesia akan menjadi bulan-bulanan di Bahrain National Stadium, markas Bahrain. Saat masih dihuni Bambang Pamungkas dkk, Bahrain menekuk Indonesia 2-0 di Stadion Gelora Bung Karno. Bagaimana nanti di Bahrain? di mana Indonesia hanya akan menurunkan pemain yang rata-rata di bawah 23 tahun. Apalagi, nama-nama mentereng yang jadi tulang punggung Timnas U-23 di SEA Games lalu seperti Patrich Wanggai, Egi Melgiansyah, Titus Bonai tidak akan ada di line-up karena mereka berkompetisi di bawah liga yang dianggap ilegal oleh PSSI.
PSSI sendiri merasa punya logika menurunkan pemain-pemain muda di partai yang sudah tidak menentukan itu. Federasi yang dipimpin Djohar Arifin itu nampaknya ingin mengikuti jejak Malaysia, melupakan pemain senior yang sudah tidak lagi berprospek, dan menyiapkan bibit-bibit muda untuk membentuk tim tangguh di masa depan.
Laga menghadapi Bahrain diproyeksikan sebagai ajang menempa mental dan pengalaman skuad yang dihuni Ferdinand Sinaga dkk yang sempat ditekuk Persebaya 0-1 di partai uji coba Jumat lalu itu. Kalah menang bukan ukuran, karena ada rencana jangka panjang di balik itu.
Tapi yang perlu dicatat, wacana seperti ini bukanlah barang baru. Di era Nurdin Halid, Indonesia juga menurunkan pemain U-23 di partai kualifikasi Piala Dunia 2010, pada 2007 lalu menghadapi Suriah. Itu dilakukan setelah Timnas senior ditaklukan 1-4 di GBK. Di Damaskus, Garuda muda dibantai 7-0. Toh PSSI tidak kecewa-kecewa amat. Saat itu PSSI juga punya rencana mulia, menambah jam terbang Eka Ramdani cs agar bisa menorehkan prestasi gemilang di SEA Games Thailand 2007 meskipun ternyata Garuda juga tidak bisa berbicara banyak di pentas itu.
Harus diakui, Firman Utina cs, memang sudah tidak bisa diharapkan lagi menorehkan prestasi internasional bagi Indonesia, karena sudah tidak ada lagi even internasional dalam waktu dekat. Kualifikasi Piala Asia 2015 baru dimulai September mendatang, sedangkan Piala AFF digelar akhir tahun ini. Dengan pemain-pemain muda yang dimiliki negara ASEAN lain, tentu lucu jika pemain-pemain yang usianya dalam grafik menurun, tetap dimainkan.
Menambah jam terbang internasional Ferdinan Sinaga cs di laga kontra Bahrain bisa jadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas timnas di masa depan. Yang jadi soal, apakah PSSI bisa menjamin program ini bukan hanya upaya berkelit dari ketidakpercayaan diri menyiapkan amunisi dengan stok pemain dari kompetisi IPL?
Selain itu, PSSI saat ini sedang diguncang isu kudeta, bukan tidak mungkin program ini akan berganti rupa secara ekstrem atau bahkan menguap, jika era Djohar Arifin ternyata hanya seumur jagung. Yang kita harapkan, siapa saja pengurus di PSSI, pembinaan pemain muda menjadi prioritas, bukan sebagai kebijakan yang ternyata kental unsur politis. Publik sepakbola tentu sudah sepakat, pembinaan adalah harga mati, tidak ada tempat untuk politik dalam sepakbola.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca Juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar