---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MAGELANG - Pemkot Magelang harusnya ikut memperhatikan secara serius keberadaan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus, Sekolah Autisme Bina Anggita. Minimnya sarana dan prasarana kegiatan belajar di satu-satunya sekolah untuk anak autis di eks-Karesidenan Kedu seharusnya bukan hanya diatasi yayasan, tapi juga menjadi tanggung jawab pemkot. Apalagi siswa autis merupakan bagian dari masyarakat yang membutuhkan perhatian.
”Bayangkan semangat mereka, susah payah mengontrak dan pinjam gedung untuk bisa memberikan pendidikan untuk anak autis. Ini suatu yang luar biasa, dan perlu didorong, bukan malah sebaliknya," kata Ketua Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PSW LP3M) Universitas Muhammadiyah Magelang Sri Margowati, Kamis (2/2).
Seperti diberitakan, Sekolah Autisme Bina Anggita selama ini meminjam gedung Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) milik Disdik. Selain itu mereka juga memiliki satu kelas, dengan memanfaatkan rumah warga yang mereka kontrak Rp 2 juta per tahunnya. Namun ruangan yang dipinjam dari Disdik setempat dengan dalih akan direnovasi dan untuk dijadikan tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Perempuan yang aktif membela hak anak dan kaum wanita mengaku menaruh perhatian khusus terhadap situasi sekolah yang saat ini menampung 40 siswa autis.
Menurutnya, situasi sekolah untuk anak berkebutuhan khusus yang memprihatinkan ini merupakan tamparan bagi pemkot. Apalagi kondisi itu di tengah euforia kebanggaan diraihnya Anugerah Parahatika Ekapraya (APE) oleh pemkot selama lima kali berturut-turut.
Penghargaan itu diberikan kepada daerah yang dinilai berhasil dalam program Pengarusutamaan Gender (PUG), Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA). Sebagai salah satu tim yang ikut berjuang mendapatkan penghargaan itu, Margowati merasa malu.
”Betapa tidak, semangat dari penghargaan tersebut ternyata belum diaplikasikan di lapangan,” katanya.
Secara terus terang, Margowati mengaku saat penilaian APE belum tahu kondisi sekolah autis Bina Anggita. Dia baru tahu dari berita koran beberapa waktu lalu.
Jika harus memilih, antara menerima penghargaan tapi kondisi bertolak belakang dan tidak menerima penghargaan namun semangatnya sampai ke masyarakat, saya memilih opsi yang kedua," lanjut dosen Fakultas Ilmu Kesehatan UMM itu.
Dia mendesak pemkot segera turun tangan membantu memecahkan permasalahan sekolah tersebut. ”Pemkot sebenarnya sangat mampu untuk membantu memecahkan masalah Bina Anggita tersebut. Tinggal mau apa tidak, memang kita perlu duduk bareng dan memecahkan masalah ini bersama-sama," ajaknya
Jika pemkot tidak merespon, kata dia, sebaiknya penghargaan APE tahun depan dilupakan. ”Dia menyindir pemkot tidak perlu muluk-muluk mempunyai angan-angan Kota Magelang menjadi Kota Layak Anak.
”Masih banyak yang harus dibenahi, termasuk pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ini. Jika hal seperti ini saja tidak diperhatikan saya siap mundur dari tim,” tegasnya
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca Juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar