---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Magelang: Program bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin dinilai tidak efektif. Program ini kompensasi atas kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). "Pelaksanaan program itu pada tahun-tahun lalu tidak efektif, sehingga pemerintah tak perlu menerapkannya lagi," kata pengamat sosial Universitas Muhammadiyah Magaleng, Kanthi Pamungkas Sari di Magelang, Jawa Tengah, Senin (27/2).
Kanthi mengatakan hal itu terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi sebagai dampak melambungnya harga minyak dunia yang makin membebani keuangan negara.
Ia menganggap BLT tidak efektif karena pada masa lalu lebih banyak dimanfaatkan para penerima untuk membeli berbagai barang yang bersifat kesenangan seperti rokok, "compact disc", dan radio. "Akan sangat lucu jika kasus-kasus tersebut muncul kembali," katanya.
Ia mengharapkan agar pemberian dana BLT tetap sasaran. "Pemberian BLT sebaiknya lebih manusiawi dan produktif, untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu terutama secara fisik, mereka bisa diberikan barang-barang yang benar-benar mereka butuhkan," katanya.
Ia juga menilai, langkah pemerintah menaikkan harga BBM sebagai cara paling mudah dan simpel untuk merespons lonjakan harga minyak dunia. Namun, ia menganggap cara itu hanyalah penyelesaian jangka pendek.
"Dan ini sudah berulang-ulang kali terjadi," kata Kanthi yang juga pengajar sosiologi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu.
Ia menyebut kenaikan harga BBM bukan berdampak terhadap komponen tunggal berupa persoalan perekonomian masyarakat. Akan tetapi juga aspek lainnya seperti sosiologis, psikologis, politik, dan budaya.
"Ini harus dipahami dan diantisipasi semaksimal mungkin. Kalau tidak, tentu saja akan mengganggu stabilitas keamanan masyarakat," katanya.
Menurutnya, rata-rata upah yang diterima masyarakat kelas menengah ke bawah, minimal 70 persen untuk belanja kebutuhan primer, sedangkan lainnya kebutuhan sekunder. Bahkan, katanya, di antara mereka membelanjakan 100 persen upahnya untuk kebutuhan primer. Kenaikan harga BBM, lanjutnya, dipastikan berakibat penurunan daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), warga miskin di perkotaan hingga September 2011 sekitar 10,95 juta orang, sedangkan di pedesaan 18,94 juta orang. "Kenaikan harga BBM subsidi besar kemungkinan menambah jumlah penduduk miskin," jelasnya.
Kanthi mengatakan hal itu terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi sebagai dampak melambungnya harga minyak dunia yang makin membebani keuangan negara.
Ia menganggap BLT tidak efektif karena pada masa lalu lebih banyak dimanfaatkan para penerima untuk membeli berbagai barang yang bersifat kesenangan seperti rokok, "compact disc", dan radio. "Akan sangat lucu jika kasus-kasus tersebut muncul kembali," katanya.
Ia mengharapkan agar pemberian dana BLT tetap sasaran. "Pemberian BLT sebaiknya lebih manusiawi dan produktif, untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu terutama secara fisik, mereka bisa diberikan barang-barang yang benar-benar mereka butuhkan," katanya.
Ia juga menilai, langkah pemerintah menaikkan harga BBM sebagai cara paling mudah dan simpel untuk merespons lonjakan harga minyak dunia. Namun, ia menganggap cara itu hanyalah penyelesaian jangka pendek.
"Dan ini sudah berulang-ulang kali terjadi," kata Kanthi yang juga pengajar sosiologi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu.
Ia menyebut kenaikan harga BBM bukan berdampak terhadap komponen tunggal berupa persoalan perekonomian masyarakat. Akan tetapi juga aspek lainnya seperti sosiologis, psikologis, politik, dan budaya.
"Ini harus dipahami dan diantisipasi semaksimal mungkin. Kalau tidak, tentu saja akan mengganggu stabilitas keamanan masyarakat," katanya.
Menurutnya, rata-rata upah yang diterima masyarakat kelas menengah ke bawah, minimal 70 persen untuk belanja kebutuhan primer, sedangkan lainnya kebutuhan sekunder. Bahkan, katanya, di antara mereka membelanjakan 100 persen upahnya untuk kebutuhan primer. Kenaikan harga BBM, lanjutnya, dipastikan berakibat penurunan daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), warga miskin di perkotaan hingga September 2011 sekitar 10,95 juta orang, sedangkan di pedesaan 18,94 juta orang. "Kenaikan harga BBM subsidi besar kemungkinan menambah jumlah penduduk miskin," jelasnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca Juga:
-Program BLT Dinilai Tidak Efektif
-GP Ansor Longmarch Tolak Anarkisme
-FPI Keberatan Aktifitas JKI di Muntilan
-Ajang Pembinaan Prestasi Nasional
-1.500 Peserta Ikuti ’Diponegoro Run’
-Jembatan Srowol Butuh Lampu Penerangan
-Episode Negatif PPSM KN Berlanjut
-Dewan Bakal Tekan Pemkot Selesaikan Harga Kios Pasar Rejowinangun
-Jalur Magelang-Jogja Putus, Banjir Lahar Capai Setinggi 4 Meter-FPI Keberatan Aktifitas JKI di Muntilan
-Ajang Pembinaan Prestasi Nasional
-1.500 Peserta Ikuti ’Diponegoro Run’
-Jembatan Srowol Butuh Lampu Penerangan
-Episode Negatif PPSM KN Berlanjut
-Dewan Bakal Tekan Pemkot Selesaikan Harga Kios Pasar Rejowinangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar